Meresapi Keajaiban Embun Upas di Bromo, Pengalaman Pribadi di Tengah Dinginnya Musim Kemarau

Sebagai penulis untuk dimalang.com, saya beruntung bisa menjelajahi setiap sudut keindahan Malang Raya. Salah satu pengalaman yang paling membekas adalah menyaksikan langsung fenomena alam menakjubkan di Gunung Bromo saat musim kemarau: embun upas. Bukan sekadar cerita dari foto atau video, ini adalah sensasi dingin yang menusuk, namun dibayar lunas oleh pemandangan yang sungguh magis.

 

Pagi Buta yang Membekukan di Kaki Bromo

 

Waktu itu, saya berangkat dari Malang dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB, menggunakan jip sewaan menuju Bromo via Tumpang. Udara Malang yang biasanya sejuk, perlahan berubah menjadi dingin menusuk begitu kami memasuki wilayah Kabupaten Malang bagian timur, seperti Tumpang dan Ngadas. Saya masih ingat, sebelum matahari terbit sempurna di salah satu viewpoint favorit, suhu di luar jip terasa benar-benar membekukan, bahkan terasa lebih dingin dari biasanya. Kopi hangat yang saya bawa dari Kota Malang pun cepat sekali mendingin.

“Dulu, saya pernah mengira embun upas itu cuma mitos atau efek kamera. Tapi ternyata, ini real!” bisik saya pada teman perjalanan. Pengalaman ini mengonfirmasi apa yang sering saya baca di berbagai sumber. Kepala Bidang di Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS), Septi Eka Wardhani, menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi karena udara dingin ekstrem akibat angin monsun timur dari Australia, dengan suhu bisa mencapai 5-9 derajat Celsius [Sumber: DetikTravel, 23 Juli 2025]. Bahkan, di beberapa momen puncak kemarau seperti yang diamati pada 10 Juli 2025 lalu, suhu di Bromo bisa menyentuh 5 derajat Celsius, menjadi yang terdingin di Jawa Timur [Sumber: Kompas.com, 11 Juli 2025].

Saat itu, saya memilih untuk turun sebentar ke area savana dan lautan pasir setelah menikmati sunrise. Matahari sudah mulai naik, namun sisa-sisa dingin masih sangat terasa. Di sanalah saya melihatnya: hamparan rumput-rumput kecil dan permukaan tanah yang tertutup lapisan es tipis berwarna putih. Betul-betul seperti salju! Saya mencoba menyentuhnya, terasa dingin dan licin. Fenomena ini, seperti yang diutarakan oleh pemandu wisata Azam Sindi, memang paling jelas terlihat di pagi hari sebelum pukul 07.00 WIB, karena setelah itu embun akan mencair [Sumber: DetikTravel, 23 Juli 2025]. Saya bisa melihat sendiri bagaimana embun itu perlahan menghilang seiring matahari makin tinggi.

 

Bediding: Tanda Alam dan Perlindungan Diri

 

Masyarakat lokal Tengger punya sebutan akrab untuk cuaca dingin ekstrem ini: “bediding”. Umam Masduqi, seorang pelaku wisata Bromo dari Probolinggo, menyebutkan bahwa embun upas ini biasanya muncul jelang Agustus atau September, saat puncak musim kemarau tiba [Sumber: Kompas.com, 11 Juli 2025]. Kondisi ini didukung oleh langit yang cerah, mempercepat pelepasan panas dari bumi ke atmosfer, serta dominasi angin timur.

Meskipun cuaca sangat dingin, Balai Besar TNBTS menegaskan bahwa fenomena ini masih dalam tahap wajar dan aman bagi wisatawan. Namun, sebagai penulis yang peduli akan keselamatan pembaca dimalang.com, saya ingin menekankan pentingnya persiapan matang. Jaket tebal berlapis, sarung tangan, syal, penutup kepala yang menutupi telinga, serta kaus kaki tebal adalah perlengkapan wajib. Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman hangat, serta obat-obatan pribadi jika diperlukan. Pengalaman saya sendiri mengajarkan bahwa dinginnya Bromo itu berbeda, menusuk hingga ke tulang, apalagi saat embun upas muncul.

Melihat embun upas di Bromo adalah sebuah anugerah. Rasanya seperti dianugerahi pemandangan langka yang mengubah lanskap gunung pasir menjadi negeri dongeng berselimut es. Ini adalah salah satu alasan mengapa Bromo selalu layak untuk dikunjungi, terutama saat musim kemarau, untuk merasakan sensasi “salju” di tanah Jawa.

Kategori :