Gunung Panderman: Bukan Sekadar Healing Biasa, Tapi Sekolah Pendakian Penuh Hikmah ala Arek Malang

Halo, Nawak dimalang.com! saya ingin berbagi pengalaman tentang hobi yang kadang bikin deg-degan tapi juga bikin kangen: mendaki gunung panderman. Belakangan ini, jagat maya dihebohkan dengan berita duka dari Gunung Rinjani, di mana seorang wisatawan dari Brazil mengalami kecelakaan fatal. Banyak komentar berseliweran yang terkesan menganggap mendaki gunung itu seperti “healing” biasa, layaknya main ke Jatim Park atau piknik di Alun-Alun Tugu. Padahal, itu tidak semudah yang dibayangkan!

Mendaki gunung itu tidak seperti masuk wahana fantasi yang keamanannya terukur rapi. Setiap gunung punya karakternya sendiri, dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Rinjani, misalnya, dikenal sebagai salah satu gunung dengan tingkat kesulitan tinggi, butuh persiapan matang dan pendampingan profesional. Medan yang terjal, jurang menganga, hingga perubahan cuaca ekstrem yang cepat bisa jadi ancaman serius. Proses penyelamatan di medan ekstrem pun tidaklah mudah, membutuhkan perhitungan presisi dan tim yang super prima.

Jujur saja, melihat apa yang terjadi pada mendiang Juliana Marins, ini menjadi pengingat keras bagi kita semua bahwa gunung itu menyimpan bahaya mematikan di balik keindahannya yang inspiratif. Risiko terjatuh, luka patah tulang, hingga kematian, bisa mengancam siapa pun yang meremehkan persiapan.

 

Dari Mahasiswa Sok Tahu Menjadi Pendaki yang Patuh: Pengalaman Pribadi di Panderman

 

Saya masih ingat betul, dulu waktu saya masih muda belia, sekitar pertengahan 1980-an saat kuliah di Malang, pandangan saya sama “sok tahu”-nya. Mendaki gunung saya kira cuma seperti refreshing biasa, senyaman duduk-duduk dekat Coban Rondo atau bersantai di perkebunan teh Lawang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan!

Suatu kali, saya dan teman-teman kampus sempat berencana langsung tancap gas ke Semeru atau Lawu. Untungnya, ada teman lain yang sudah berpengalaman mengajak kami mencoba Gunung Panderman dulu sebagai pemanasan. “Panderman itu kayak sekolah TK-nya pendaki di Malang, rek,” begitu katanya.

Dan begitulah, kami berdelapan sepakat mendaki Gunung Panderman, yang terletak di Kota Batu, Malang. Saya tahu, bagi banyak pendaki berpengalaman, Panderman mungkin dianggap gunung yang “paling mudah” ditaklukkan, bahkan oleh pemula sekalipun. Ketinggiannya hanya sekitar 2.045 mdpl, dengan jalur yang katanya sebagian besar landai. Tapi, inilah kesalahan fatal kami!

Karena merasa “cuma Panderman”, kami tidak ada persiapan fisik atau mental yang berarti. Perlengkapan seadanya, dan bawaan paling banyak cuma makanan dan minuman, karena niatnya memang mau piknik.

Cerita Perjalanan : Dari kota Malang Ke Puncak Panderman

Sore hari kami berangkat dari Kota Malang. Sampai di basecamp (mungkin di Dukuh Toyomerto atau Curah Banteng yang kini jadi jalur populer), kami istirahat sebentar, menitipkan kendaraan, lalu mulai berjalan menuju puncak. Awalnya memang gampang, lewat jalan makadam yang rata.

Tapi, setelah hampir sejam, jalan mulai menanjak dan menembus semak-semak. Perkiraan sampai puncak katanya cuma tiga sampai empat jam. Berjalan di kegelapan, hanya modal senter, dan suara angin yang menderu seperti truk besar lewat, mulai bikin nyali ciut. Dari yang tadinya penuh guyonan dan tawa, suasana berubah tegang. Jalan makin sempit, makin sulit. Di samping jurang menganga, untungnya banyak semak yang bisa buat pegangan.

Beberapa dari kami, termasuk saya, sudah mulai ngos-ngosan (terengah-engah). Rajin bertanya “kapan sampai?” yang terus dijawab “sebentar lagi, tinggal seratus meter”. Berulang kali dijawab “seratus meter” tapi tidak sampai-sampai. Akhirnya, saya dan dua teman memilih berhenti, istirahat, dan tidur di balik sebuah batu besar yang cukup aman. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, berarti kami sudah mendaki sekitar tiga jam.

 

Puncak Basundara: Lelah Terbayar dan Pelajaran Berharga

 

Saat terbangun di subuh hari, Masya Allah, pemandangannya sungguh luar biasa! Keindahan alam yang disajikan Tuhan membuat kami takjub, merasa betapa kecilnya diri ini di hadapan-Nya. Kabut tipis, hijaunya pepohonan, dan cahaya mentari pagi yang perlahan muncul, semuanya kombinasi yang sempurna. Kami cepat-cepat menyusul teman-teman lain yang ternyata sudah dekat sekali dengan puncak.

Puas menikmati keindahan Puncak Basundara (ketinggian 2.045 mdpl), kami memutuskan turun. Saya kira perjuangan sudah selesai. Ternyata, perjuangan saat turun jauh lebih berat dibanding saat pendakian! Medan yang terjal menurun membuat kami seperti meluncur, harus menahan badan agar tidak terguling jatuh. Akhirnya, kami memilih jalan ngesot (merayap dengan pantat) di sepanjang jalur penurunan yang tajam. Duh, rasanya paha dan betis mau copot!

Alhamdulillah, kami tiba di kaki gunung dengan selamat, tidak kurang satu apa pun. Malah bertambah pengalaman yang penuh hikmah dari sebuah gunung yang dianggap “biasa saja” oleh para pendaki. Pulang ke rumah, episode penderitaan berlanjut: sakit di sekujur tubuh, terutama paha dan betis, yang bikin susah jongkok bahkan saat buang air besar. Sakitnya bertahan sampai seminggu!

Semua rasa lelah, capek, tegang, dan sakit itu kami rasakan karena menganggap enteng perjalanan naik gunung itu. Ini baru sekelas Panderman, yang level kesulitannya tidak seberapa dibanding gunung ekstrem seperti Semeru atau Rinjani.

 

Panderman: Destinasi Short Escape Bersejarah di Malang Raya

 

Meskipun pengalaman saya penuh drama, Gunung Panderman tetap jadi pilihan yang sangat bersahabat buat pendaki pemula di Malang. Trekknya relatif ramah, didominasi jalur tanah dengan hutan pinus yang rimbun dan adem. Waktu tempuh ke puncak pun cukup singkat, sekitar 2-3 jam via jalur Toyomerto, dengan bonus spot-spot foto alami yang Instagramable.

Dari Puncak Basundara, Anda bisa menikmati pemandangan spektakuler Kota Batu yang tersusun rapi di kejauhan, siluet Gunung Arjuno dan Welirang yang berdiri megah, bahkan lautan awan yang kadang muncul di pagi hari. Saat malam, lampu kota yang menyala bikin suasana makin syahdu, cocok buat melepas penat setelah seharian beraktivitas.

“Bagi kami di Kota Batu, Panderman itu kayak background wajib,” ujar Pak Joko, seorang pemandu wisata trekking lokal. “Bukan cuma tempat olahraga, tapi juga saksi bisu sejarah. Banyak yang tidak tahu kalau Panderman ini bagian dari gugusan Pegunungan Putri Tidur bersama Gunung Butak dan Gunung Kawi. Kalau dilihat dari Kota Malang, ketiganya membentuk siluet perempuan berbaring. Makanya disebut Putri Tidur!”

Tak hanya itu, nama “Panderman” sendiri konon diambil dari bangsawan Belanda bernama Van Der Man yang sering mendaki gunung ini di masa kolonial. Bahkan, di masa Perang Jawa (1825–1830), kawasan Panderman disebut-sebut jadi lokasi persembunyian Abu Ghonaim alias Mbah Wastu atau Mbah Mbatu, yang diduga menjadi asal mula nama Kota Batu. Jadi, selain menawarkan pemandangan alam luar biasa, Panderman juga menyimpan potongan sejarah yang bikin pengalaman mendaki makin berkesan.

 

Camping Seru dan Rehat Total di Dekat Panderman

 

Buat Sobat yang ingin menikmati suasana alam Panderman lebih lama, nge-camp bisa jadi pilihan seru. Ada dua spot favorit: Latar Ombo (sekitar satu jam dari basecamp Toyomerto) dan Watu Gede (satu jam lagi dari Latar Ombo, lebih dekat puncak). Keduanya punya area datar buat tenda, dikelilingi pepohonan pinus yang bikin adem. Malamnya, Anda bisa bakar jagung atau ngopi hangat bareng teman di bawah bintang-bintang.

Setelah seharian mendaki dan nge-camp, tubuh pasti butuh tempat nyaman buat rehat total. Saran saya, jangan langsung terburu-buru pulang ke hiruk pikuk kota. Coba menginap di Bobocabin Coban Rondo di kawasan Pujon yang sejuk. Fasilitasnya lengkap, mulai dari king-size bed, smart window, AC, WiFi, sampai private bathroom. Ada juga communal space dan fire pit buat cerita bareng. Lokasinya strategis, cuma sekitar satu jam dari Kota Malang dan dekat banget sama Air Terjun Coban Rondo serta Coban Rondo Maze.

Ingat, mendaki gunung itu bukan hiburan seperti ke dunia fantasi. Gunung diciptakan bukan untuk hiburan; apa yang akan terjadi bisa tidak terprediksi. Meski sensasi kenikmatan naik gunung itu begitu dalam, perjuangannya sepadan bahkan mungkin lebih besar dari kenikmatan yang kita rasakan.

Pengalaman saya di Panderman, meskipun gunung “pemula”, telah mengajarkan banyak hal. Semua rasa lelah, capek, tegang, dan sakit itu adalah hasil dari meremehkan alam. Jadi, Sobat, sebelum terlibat dalam pendakian gunung, pahami betul risikonya. Persiapan fisik, mental, perlengkapan, ransum, hingga kondisi cuaca, semua harus diperhatikan dengan cermat.

Panderman itu seperti miniatur sekolah pendakian. Dia menunjukkan bahwa bahkan gunung yang “mudah” pun bisa memberi pelajaran berharga jika kita meremehkan. Jadi, kapan Sobat dimalang.com siap menjelajah Panderman? Jangan lupa persiapannya, ya!

Kategori :