Mberot – Malang Raya, wilayah yang meliputi Kota Malang, Kabupaten Malang, hingga Kota Batu, selalu punya cerita menarik dari kearifan lokalnya. Belakangan ini, satu kata yang makin sering kita dengar dalam obrolan sehari-hari, apalagi di media sosial, adalah “mberot”. Frasa seperti “info mberot”, “P mberot”, atau “pasukan mberot” kerap berseliweran, memicu rasa penasaran. Nah, apa sebenarnya “mberot” itu, dan mengapa ia begitu melekat dengan identitas Malang Raya?
Jawabannya terbentang dalam salah satu warisan budaya kebanggaan Jawa Timur: Kesenian Bantengan. Ya, “mberot” punya hubungan erat dengan seni pertunjukan yang kaya makna dan simbolisme ini.
“Mberot”: Antara Berontak, Mengamuk, dan Kesenian Tradisional
Dalam bahasa Jawa Timuran, “mberot” secara harfiah berarti berontak, marah, atau mengamuk. Istilah ini juga bisa diartikan sebagai melarikan diri atau lepas dari tali, seperti sapi yang terlepas dari ikatannya. Tak heran, ketika seseorang “mberot”, sering diibaratkan seperti banteng yang sedang mengamuk dengan tenaga luar biasa.
Kaitannya dengan Kesenian Bantengan sangatlah kuat. Dalam setiap pertunjukan Bantengan, ada dua orang pemain yang berada di dalam kostum kepala banteng, satu sebagai kaki depan yang mengendalikan kepala, dan satu lagi sebagai kaki belakang. Orang yang mengendalikan kepala banteng inilah yang sering disebut “mberot”. Momen puncak dalam pertunjukan ini terjadi ketika bagian kepala banteng mengalami “kesurupan” atau “mberot”, yang diyakini sebagai penanda kesuksesan pertunjukan karena adanya pengaruh energi gaib. Uniknya, jika pemain di bagian depan “mberot”, seringkali pemain di bagian belakang pun ikut terpengaruh.
Para pemain Bantengan umumnya mengenakan kostum serba hitam dengan topeng kepala banteng yang terbuat dari kayu, lengkap dengan tanduk asli kerbau atau banteng. Iringan musik gamelan yang khas menambah nuansa magis dan energik pada setiap gerakannya. Kesenian ini sering kita jumpai di berbagai acara, mulai dari karnaval desa, khitanan, pernikahan, hingga festival budaya yang kerap diadakan di Malang Raya. Tujuannya pun sakral, sebagai tolak balak, menghormati leluhur, serta melestarikan seni budaya tradisional agar tidak punah.
"Saya sudah puluhan tahun menjadi penggiat Bantengan di desa saya, di Wagir, Kabupaten Malang," cerita Pak Mardi, seorang sesepuh dan penari Bantengan. "Bagi kami, 'mberot' itu bukan sekadar gerakan. Itu adalah saat di mana arwah leluhur masuk, memberikan energi. Ini bentuk penghormatan kami pada warisan nenek moyang. Rasanya campur aduk, lelah tapi juga bangga bisa melestarikan ini."
Semarak “Mberot” Sambut Api Porprov IX Jatim 2025 di Kota Malang
Kesenian Bantengan, dengan semangat “mberot” yang khas, membuktikan relevansinya di tengah hiruk pikuk modern. Buktinya, pada 27 Juni 2025 lalu, “mberot” menjadi sorotan utama dalam kirab api Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) IX Jawa Timur 2025 di Kota Malang.
Kirab ini bukan sekadar arak-arakan biasa, melainkan perpaduan simbol semangat olahraga dengan kekayaan budaya Malang Raya. Prosesi penyerahan api Porprov dimulai dari Terminal Landungsari, di mana Wali Kota Batu, Nurrochman, secara simbolis menyerahkan obor kepada Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat. Disaksikan oleh jajaran pejabat daerah dan KONI Kota Malang, kirab api kemudian bergerak megah melintasi lima kecamatan di Kota Malang: Lowokwaru, Blimbing, Kedungkandang, Sukun, dan berakhir di Klojen.
Di sepanjang rute kirab yang ramai ini, penampilan kesenian mberot atau bantengan sukses menyedot perhatian ribuan warga. Gerakan atraktif para pelakon yang dipenuhi energi, diiringi tabuhan musik gamelan yang menggelegar, menciptakan suasana yang begitu hidup dan penuh semangat kolektif. Ini adalah daya tarik tersendiri yang membuat kirab api Porprov di Malang terasa berbeda.
“Bantengan atau mberot tidak hanya milik Kota Malang, tapi juga Batu dan Kabupaten Malang,” terang Wali Kota Wahyu Hidayat, menunjukkan kebanggaannya terhadap ikon budaya ini. “Kami ingin suasana Porprov IX Jatim ini tetap menjunjung semangat lokal.”
Api Porprov sempat disemayamkan di Kodim 0833, kemudian diinapkan di Balai Kota Malang sebelum melanjutkan perjalanannya. Wali Kota Wahyu Hidayat berharap kirab ini menjadi momentum awal kesuksesan Kota Malang sebagai tuan rumah Porprov IX Jatim, dengan target empat indikator keberhasilan: sukses penyelenggaraan, prestasi, ekonomi, dan administrasi.
“Kami ingin Porprov kali ini bukan hanya euforia sesaat, tapi bisa menggugah semangat, membangkitkan ekonomi, dan mempersatukan warga melalui olahraga dan budaya,” tegas alumnus Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini.
"Melihat semangat 'mberot' para penari Bantengan di kirab kemarin, rasanya energi positifnya menular," tutur Ibu Siti, seorang guru SD di Lowokwaru yang ikut menyaksikan kirab bersama murid-muridnya. "Anak-anak jadi tahu, bahwa olahraga itu bukan cuma soal tanding, tapi juga bisa dirayakan dengan budaya kita sendiri."
Pemerintah Kota Batu dan Strategi APBD 2025: Fokus Kesejahteraan Rakyat
Sementara itu, di sisi Kota Batu, dinamika pemerintahan juga terus berjalan. Pemerintah Kota Batu baru saja menyampaikan jawaban resmi terhadap pandangan umum fraksi-fraksi DPRD terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Rapat Paripurna pada Jumat, 11 Juli 2025, menyoroti berbagai isu krusial mulai dari kemandirian fiskal hingga pengelolaan sampah, yang semuanya berdampak langsung pada kesejahteraan warga Kota Apel ini.
Wali Kota Batu menyampaikan apresiasi atas masukan fraksi-fraksi, menegaskan bahwa jawaban ini adalah langkah awal dari pembahasan lebih mendalam di tingkat Badan Anggaran bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). “Saran dan pertimbangan dari fraksi-fraksi DPRD adalah bagian dari penyempurnaan Raperda. Tujuannya adalah agar APBD dapat lebih responsif terhadap permasalahan dan kebutuhan masyarakat,” kata Wali Kota.
Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Batu, melalui juru bicaranya Amira Ghaida Dayanara, menyoroti rendahnya serapan belanja daerah di semester pertama tahun anggaran 2025. Dari target belanja Rp1,23 triliun, baru sekitar 26% (sekitar Rp328,3 miliar) yang terealisasi. Mirisnya, hampir separuh dari realisasi tersebut, yakni Rp177,6 miliar, justru untuk belanja rutin kepegawaian. Sementara belanja barang dan jasa yang berdampak langsung pada masyarakat, masih sangat minim.
Menanggapi ini, Pemkot Batu memaparkan strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk intensifikasi pajak dengan tapping box, optimalisasi kerjasama dengan DJP dan PLN, serta pembentukan Tim Terpadu Optimalisasi Pajak Daerah. Realisasi PAD per 8 Juli 2025 telah mencapai Rp143,46 miliar (44,48% dari target), menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya.
Fraksi PKB, PDI Perjuangan, dan Gerindra juga menyoroti efektivitas penggunaan anggaran. Pemerintah Kota Batu menjawab dengan menekankan bahwa APBD Perubahan didesain berdasarkan kinerja dan kebutuhan riil masyarakat, terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Program prioritas mencakup rehabilitasi SD, penambahan alat kesehatan, bantuan modal UMKM (seperti yang sering terlihat di pusat oleh-oleh atau sentra UMKM di dekat Jatim Park), serta insentif untuk guru non-ASN dan tenaga keagamaan.
“Belanja tidak hanya untuk mencapai serapan yang tinggi, tetapi juga harus memberikan dampak langsung,” tegas Wali Kota, menegaskan komitmen pemerintah untuk memastikan setiap rupiah anggaran dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Ini menunjukkan bahwa di balik hingar-bingar perayaan budaya dan olahraga, pemerintah daerah di Malang Raya terus berupaya keras untuk memastikan alokasi anggaran yang tepat demi kemajuan wilayah dan kesejahteraan warganya. Semangat “mberot” yang berarti berontak demi kebaikan, mungkin juga bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah dalam berinovasi dan meningkatkan pelayanan publik.