Malang, kota yang selalu kaya akan dinamika sosial dan budaya, belakangan ini diramaikan dengan perbincangan mengenai sound horeg. Istilah ini mungkin sudah tak asing lagi di telinga warga Jawa Timur, khususnya mereka yang sering mengikuti acara-acara karnaval atau hajatan. Namun, di balik semaraknya, fenomena sound horeg ini ternyata memicu pro dan kontra, bahkan baru-baru ini menjadi perhatian serius pihak berwajib di Kota Malang.
Bagi sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa, sound horeg adalah sebuah karnaval atau parade yang menampilkan sistem tata suara (sound system) berukuran masif dengan volume suara yang luar biasa keras. Konon, ini dianggap sebagai sebuah “tradisi” baru yang berkembang. Namun, benarkah demikian? Mari kita telusuri lebih dalam.
Apa Itu Sound Horeg dan Bagaimana Sejarahnya?
Kata “horeg” sendiri berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti gempa atau berguncang, seperti dijelaskan dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia oleh Kemendikbud. Dalam konteks sound system, istilah ini merujuk pada alat penghasil suara dengan volume yang cenderung sangat tinggi, hingga getarannya bisa dirasakan di sekelilingnya.
Awalnya, penggunaan sound system besar ini lebih difokuskan untuk acara-acara berskala luas seperti konser musik, pengumuman publik, kegiatan keagamaan, bahkan kampanye politik. Tujuannya tentu saja untuk memastikan suara terdengar jelas oleh banyak orang. Namun, seiring waktu, ada pergeseran signifikan dalam penggunaannya. Sound horeg kini seringkali dimanfaatkan dalam bentuk “adu sound” atau kompetisi kualitas dan volume suara, terutama dalam karnaval atau pawai.
Fenomena “adu sound” ini sebenarnya bukanlah hal baru. Sebuah jurnal dari Banyuwangi menyebutkan tren persaingan sound system sudah ada sejak beberapa tahun belakangan di berbagai wilayah Pulau Jawa, termasuk Malang, Sidoarjo, Surabaya, Blitar, hingga Kediri dan Tulungagung. Awalnya, adu sound ini sering muncul menjelang takbiran Idul Adha atau Idul Fitri. Namun, kini telah merambah ke berbagai acara karnaval, termasuk yang kerap kita lihat di pelosok desa di Kabupaten Malang.
"Saya ingat dulu, kalau ada hajatan besar di kampung, sound system memang penting, tapi tidak sampai seperti sekarang yang bikin kaca rumah bergetar," kenang Bapak Suryo, seorang sesepuh dan tokoh masyarakat di daerah Dau, Kabupaten Malang. "Sekarang rasanya seperti ada gempa kecil kalau ada sound horeg lewat. Niatnya mungkin ingin meramaikan, tapi kadang jadi kurang nyaman."
Ketika Horeg Berujung Ricuh: Kasus di Mulyorejo, Kota Malang
Dampak dari penggunaan sound horeg yang tak terkendali ini mulai terasa, terutama terkait ketertiban umum dan kenyamanan masyarakat. Tingkat kebisingan yang berlebihan dan waktu penggunaan yang tidak tepat seringkali memicu keluhan, bahkan konflik di tengah masyarakat.
Yang paling baru dan menjadi sorotan di Malang adalah insiden kericuhan di karnaval Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, Kota Malang, pada 13 Juli 2025. Peristiwa ini berawal dari seorang warga, Ibu RM (55), yang merasa sangat terganggu dengan suara bising sound horeg yang melintas di depan rumahnya, apalagi saat itu anaknya sedang sakit. Sang suami, Bapak MA (57), kemudian keluar rumah dan meminta peserta pawai mematikan suara sound system, yang berujung pada pengeroyokan terhadap Bapak MA oleh beberapa peserta pawai. Bapak MA mengalami luka di pelipis, meskipun pada akhirnya kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan melalui mediasi.
Insiden ini menjadi titik balik bagi Polresta Malang Kota. Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Polresta Malang Kota, Kompol Wiwin Rusli, secara tegas menyatakan bahwa kegiatan sound horeg kini resmi dilarang di wilayah hukum Kota Malang.
“Betul, [sound horeg] dilarang [di Kota Malang],” tegas Kompol Wiwin pada 16 Juli 2025. “Pertimbangannya mengganggu kenyamanan masyarakat.”
Pihak kepolisian juga tidak main-main. Jika ada masyarakat yang nekat menggelar kegiatan dengan sound horeg, akan ada sanksi tegas berupa penangkapan. Kompol Wiwin mengimbau masyarakat untuk selalu berkoordinasi dan mendapatkan izin dari kepolisian jika ingin menggelar acara yang melibatkan banyak orang, dengan penekanan pada penegakan tata tertib.
Sound Horeg: Antara Budaya Musik Unik dan Tantangan Ketertiban
Meskipun memicu kontroversi, tak bisa dipungkiri bahwa sound horeg telah menciptakan identitas musik yang khas, terutama di Jawa Timur. Fenomena ini telah berkembang menjadi bagian dari budaya musik yang unik, seringkali ditemukan dalam hajatan, perayaan desa, festival, hingga konser musik skala kecil.
Beberapa faktor yang mendorong popularitas sound horeg ini antara lain:
- Perpaduan Musik Tradisional dan Modern: Musik dangdut koplo menjadi elemen krusial dalam sound horeg, seringkali dipadukan dengan remix modern, EDM, atau lagu-lagu pop hits. Ini menciptakan energi yang membangkitkan semangat dan sangat cocok untuk acara-acara ramai, seperti gelaran orkes dangdut yang sering kita jumpai di area Lapangan Rampal atau pasar malam di sekitar Dinoyo.
- Peralatan Audio Canggih: Banyak penyedia layanan sound system di Malang dan kota-kota lain di Jawa Timur menawarkan peralatan berdaya besar dengan kualitas bass yang kuat dan volume tinggi. Ini menjadi ciri khas yang dicari para penggemar sound horeg.
- Komunitas dan Festival: Banyak komunitas dan penyelenggara acara di Jawa Timur yang aktif mengadakan festival musik horeg, menjadi ajang bagi DJ lokal unjuk kebolehan. Kompetisi sound system juga sering digelar, tak hanya berfokus pada volume, tapi juga kualitas suara dan kreativitas pengaturan.
- Dampak Media Sosial: Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram berperan besar dalam menyebarkan tren ini. Video penampilan sound horeg dengan efek lampu dan visual yang memukau menjadi viral, diikuti banyak anak muda.
"Sound horeg itu sebenarnya ekspresi kegembiraan masyarakat, terutama di pedesaan, yang ingin merayakan sesuatu dengan meriah," kata Dr. Bima Santoso, seorang sosiolog dari salah satu universitas di Malang. "Namun, seiring perkembangannya, perlu ada edukasi dan regulasi yang jelas agar tidak mengganggu hak-hak masyarakat lain. Harmoni antara perayaan dan ketertiban itu kunci."
Fenomena sound horeg ini ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia adalah wujud kreativitas dan bagian dari euforia perayaan masyarakat Jawa Timur. Di sisi lain, ia membawa tantangan serius terhadap ketertiban dan kenyamanan publik. Dengan adanya larangan resmi dari Polresta Malang Kota, diharapkan ada titik temu yang harmonis, di mana semangat perayaan tetap terjaga, namun tanpa mengorbankan kedamaian dan ketenteraman warga Malang.