Malang, kota dengan segudang pesona, tak pernah kehabisan cara untuk merayakan sejarah dan budayanya. Salah satu agenda yang paling dinanti adalah Festival Malang Jadoel, yang baru saja usai digelar pada 30 Juni hingga 6 Juli 2025 lalu. Ribuan warga Malang dan wisatawan tumpah ruah memadati area festival, menunjukkan betapa kuatnya daya tarik “tempo dulu” di tengah hiruk pikuk kota metropolitan ini.
Festival ini bukan sekadar perayaan biasa, melainkan sebuah pesta akbar yang menganyam tiga perayaan penting sekaligus: Hari Ulang Tahun ke-111 Kota Malang, Peringatan Bulan Bung Karno, serta Hari Bhayangkara 2025. Perpaduan momen bersejarah ini menjadikan Malang Jadoel tahun ini terasa lebih istimewa, seolah mengajak kita menyelami lorong waktu sembari merayakan identitas Malang Raya.
Mengintip Harta Karun di Pojok Nostalgia
Begitu memasuki area Festival Malang Jadoel, pengunjung langsung disambut dengan deretan stan yang memamerkan koleksi benda-benda antik nan menawan. Bukan sekadar pajangan, banyak di antaranya yang siap berpindah tangan bagi para kolektor atau pencinta sejarah. Mulai dari keris dengan ukiran khas Jawa, lukisan-lukisan lawas yang memancarkan aura misteri, set cangkir porselen bergaya Eropa kuno, hingga alat komunikasi yang kini hanya bisa kita lihat di museum: telepon putar dan radio tabung.
"Rasanya seperti kembali ke rumah nenek di daerah Blimbing," ujar Ibu Sumiati, seorang warga senior asal Lowokwaru yang terlihat asyik mematut sebuah radio tabung kuno. "Dulu, radio ini jadi satu-satunya hiburan kami sekeluarga. Bisa dengerin berita, lagu-lagu Koes Plus, sampai drama sandiwara. Sekarang, cuma jadi pajangan, tapi kenangannya itu lho yang bikin kangen."
Harga yang ditawarkan untuk benda-benda ini pun bervariasi, bahkan ada yang mencapai nominal fantastis, sebanding dengan nilai sejarah dan keunikan yang terkandung di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa pasar untuk barang antik di Malang masih sangat hidup, bahkan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemburu harta karun masa lalu.
Layar Tancap dan Jajanan Tempo Dulu: Sebuah Perjalanan Rasa dan Visual
Salah satu magnet utama yang tak pernah seudar dari Festival Malang Jadoel adalah pertunjukan layar tancap. Puluhan, bahkan ratusan penonton rela lesehan beralaskan tikar, terpaku pada proyektor klasik yang menayangkan film-film hitam putih dari era keemasan perfilman Indonesia. Suasana sendu namun hangat ini seolah mengajak kita merasakan kembali momen kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Ini adalah pengalaman otentik yang semakin langka di tengah gempuran bioskop modern.
Namun, seperti layaknya sebuah perjalanan, tak semua yang ditemui sempurna. Sektor kuliner menjadi salah satu sorotan utama. Jajanan “jadul” seperti gulali, kue gapit, dan permen cicak memang tersedia, namun jumlahnya dinilai masih kurang. Beberapa warganet bahkan melayangkan kritik di media sosial. Akun TikTok @apa_ajaa04 menulis, “Konsepnya tempo dulu tapi jajanannya banyakan yang modern: tanghulu, dimsum mentai, dan kawan-kawannya.” Kritik senada juga datang dari akun @sasiproduksi yang berkomentar, “malang tempo dulu, tapi jualannya korean food.”
Perbandingan dengan Festival Malang Tempo Doeloe yang pernah populer di Jalan Ijen pun tak terhindarkan. “Baru saja dari sana.. Maaf banget tempo dulu nya hanya bagian depan yg barang antik.. untuk makanannya seperti cfd yg di museum.. vibesnya kurang banget.. maaf ekspektasi saya malang tempo dulu jaman seperti di jalan Ijen dulu,” keluh akun @dyah081.
Fenomena ini menarik untuk dicermati. Di satu sisi, kehadiran makanan modern menunjukkan adaptasi pasar terhadap selera masa kini. Di sisi lain, ini juga menjadi tantangan bagi penyelenggara untuk lebih konsisten dengan tema yang diusung.
"Saya rasa, tantangannya adalah menemukan titik tengah," kata Bapak Hari, seorang pengamat kuliner lokal yang juga pemilik warung rawon legendaris di dekat Stasiun Malang. "Warga Malang itu suka mencoba hal baru, tapi mereka juga cinta warisan kuliner. Mungkin bisa diperbanyak variasi jajanan tempo dulu yang dimodifikasi, atau disajikan dengan sentuhan kekinian tanpa menghilangkan esensinya."
Terlepas dari pro dan kontra soal kuliner, antusiasme masyarakat tetap tinggi. Bahkan, jajanan modern yang dikritik pun tetap laris manis dibeli pengunjung. Ini menunjukkan bahwa Festival Malang Jadoel berhasil menjadi ruang temu lintas generasi, tempat tradisi berinteraksi dengan modernitas, menciptakan dinamika unik di tengah masyarakat urban Malang yang dinamis.
Apresiasi Budaya dan Pertunjukan Memukau
Di tengah perbincangan tentang kuliner, tak bisa dipungkiri bahwa aspek seni dan budaya di festival ini mendapat banyak apresiasi. Dekorasi tenant yang disesuaikan dengan tema, ditambah dengan pameran lukisan yang memukau, berhasil menciptakan nuansa “tempo dulu” yang kuat.
Pentas seni budaya menjadi bintangnya. Tari Topeng Malangan dengan gerakannya yang anggun namun penuh makna, pertunjukan Bantengan yang energik, serta Kuda Lumping yang memukau, sukses membius penonton. Ini adalah bukti bahwa kekayaan seni tradisi Malang masih sangat dicintai dan mampu menarik perhatian berbagai kalangan. Penayangan film layar tancap juga berhasil mempertahankan esensi “jadoel” yang diharapkan.
Festival Malang Jadoel tahun ini mungkin telah usai, namun jejak kenangan dan pembelajarannya tetap membekas. Terlepas dari kritik yang ada, acara ini berhasil membuktikan bahwa semangat melestarikan budaya dan sejarah tetap hidup di hati warga Malang. Mari berharap di tahun-tahun mendatang, Festival Malang Jadoel akan semakin matang, mampu menyajikan harmoni yang lebih sempurna antara nostalgia masa lalu dan inovasi masa kini.